Mawar
Mawar merah adalah kecintaannya, ... nama orangnyasendiri juga "Mawar". Dan setiap tahun suaminya selalumengirimkan mawar-mawar itu, diikat dengan pita indah.Pada tahun suaminya meninggal, ... dia mendapatkiriman mawar lagi. Kartunya tertulis "Be My Valentinelike all the years before". Sebelumnya, setiap tahun suaminya mengirimkan mawar,dan kartunya selalu tertulis, "Aku mencintaimu lebihlagi tahun ini, ... Kasihku selalu bertumbuh untukmuseturut waktu yang berlalu ..." Dia tahu ini adalahterakhir kali suaminya mengirimkan mawar-mawar itu.Dia tahu suaminya memesan semua itu dengan bayar dimuka sebelum hari pengiriman. Suaminya tidak tahukalau dia akan meninggal. Dia selalu suka melakukansegala sesuatu sebelum waktunya. Sehingga ketikasuaminya sangat sibuk sekalipun,segala sesuatunyadapat berjalan dengan baik.Lalu Mawar memotong batang mawar-mawar itu danmenempatkan semuanya dalam satu vas bunga yang sangatindah. Dan meletakkan vas cantik itu disebelah potretsuaminya tercinta. Kemudian dia akan betah dudukberjam-jam dikursi kesayangan suaminya sambilmemandangi potret suaminya dan bunga-bunga mawar itu. Setahun telah lewat, dan itu adalah saat yang sangatsulit baginya. Dengan kesendiriannya dijalaninyasemua. Sampai hari ini Valentine ini.. Beberapa saatkemudian, bel pintu rumahnya berbunyi,... sepertihari-hari Valentine sebelumnya Ketika dibukanya,dilihatnya buket mawar di depan pintunya. Dibawanyamasuk,dan tiba-tiba seakan terkejut melihatnya. Kemudian dia langsung menelpon toko bunga itu...Ditanyakannya kenapa ada seseorang yang begitu kejammelakukan semua itu padanya, membuat dia teringatkepada suaminya..dan itu sangat menyakitkan ...Lalu pemilik toko itu menjawabnya, "Saya tahu kalausuami Nyonya telah meninggal lebih dari setahun yanglalu. Saya tahu anda akan menelpon dan ingin tahumengapa semua ini terjadi ... Begini Nyonya, ... bungayang anda terima hari ini sudah di bayar di muka olehsuami anda. Suami anda selalu merencanakan nya duludan rencana itu tidak akan berubah. Ada standingorder di file saya, dan dia telah membayar semua...maka anda akan menerima bunga-bunga itu setiap tahun.Ada lagi yang harus anda ketahui, ... Dia menulissurat special untuk anda ... ditulisnya bertahun-tahunyang lalu...dimana harus saya kirimkan kepada andasatu tahun kemudian jika dia tidak muncul lagi di sinimemesan bunga mawar untuk anda... Lalu, tahun kemarin,saya tidak temukan dia di sini, ... maka surat ituharus saya kirimkan setahun lagi ... yaitu tahun ini,... surat yang ada bersama dengan bunga itusekarang... bersama dengan Nyonya saat ini." Mawarmengucapkan terima kasih dan menutup telepon,... dialangsung menuju ke buket bunga mawar itu,...Sedangkan air matanya terus menetes. Dengan tangangemetar diambilnya surat itu Di dalam surat itudilihatnya tulisan tangan suaminya menulis, "Dearkekasihku, ... Aku tahu ini sudah setahun semenjak akupergi. Aku harap tidak sulit bagimu untuk menghadapisemua ini. Kau tahu, semua cinta yang pernah kitajalani membuat segalanya indah bagiku, Kau adalahistri ang sempurna bagiku. Kau juga adalah seorangteman dan kekasihku yang memberikan semua kebutuhanku.Aku tahu ini baru setahun, ... Tapi tolong janganbersedih ...Aku ingin kau selalu bahagia, ... Walaupunsaat kau hapus air matamu ... Itulah mengapamawar-mawar itu akan selalu dikirimkan kepadamu. Ketika kau terima mawar itu, ingatlah semuakebahagiaan kita, dan betapa kita begitu diberkati ...Aku selalu mengasihimu ... dan aku tahu akan selalumengasihimu ... Tapi, ... istriku, kau harus tetapberjalan ... kau punya kehidupan... Cobalah untukmencari kebahagiaan untuk dirimu. Aku tahu tidak akanmudah tapi pasti ada jalan. Bunga mawar itu akanselalu datang setiap tahun, ... dan hanya akanberhenti ketika pintu rumahmu tidak ada yang menjawabdan pengantar bunga berhenti mengetuk pintu rumahmu... Tapi kemudian dia akan datang 5 kali hari itu,takut kalau engkau sedang pergi ... Tapi jika padakedatangannya yang terakhir dia tetap tidakmenemukanmu ... Dia akan meletakkan bunga itu ketempat yang ku suruh ... meletakkan bunga-bunga mawaritu ditempat dimana kita berdua bersama lagi.. untukselamanya ...I LOVE YOU MORE THAN LAST YEAR, ... HONEY ..."
Sulaman Tangan Tuhan Ketika aku masih kecil, waktu itu ibukusedang meyulam sehelai kain.Aku yang sedang bermain di lantai, melihatke atas dan bertanya,apa yang ia lakukan. Ia menerangkan bahwaia sedang meyulam sesuatu diatassehelai kain.Tetapi aku memberitahu kepadanya, bahwayang kulihat dari bawah adalahbenang ruwet.Ibu dengan tersenyum memandangiku danberkata dengan lembut, "Anakku,lanjutkanlah permainanmu,sementara ibu menyelesaikan sulaman ini,nanti setelah selesai, kamuakankupanggil dankududukkan di atas pangkuan ibu dan kamudapat melihat sulaman ini dariatas."Aku heran, mengapa ibu menggunakanbenang hitam dan putih, begitusembrawutmenurut pandanganku.Beberapa saat kemudian, aku mendengarsuara ibu memanggil, "Anakku, marikesini, dan duduklah di pangkuan ibu."Waktu aku lakuka! n itu, aku heran dan kagummelihat bunga-bunga yangindah,dengan latar belakang pemandanganmatahari yang sedang terbit, sungguhindahsekali.Aku hampir tak percaya melihatnya, karenadari bawah yang aku lihathanyalahbenang-benang ruwet.Kemudian ibu berkata, "Anakku, dari bawahmemang ruwet dan kacau,tetapi engkau tidak menyadari bahwa dia ataskain ini sudah ada gambaryangdirencanakan, sebuah pola,ibu hanya mengikutinya." "Sekarang, denganmelihatnya dari atas, kamudapatmelihat keindahan dari apa yang ibu lakukan."Sering selama bertahun-tahun, aku melihatke atas dan bertanya kepadaTUHAN,"apa yang Engkau lakukan?"Ia menjawab, "Aku sedang menyulamkehidupanmu." Dan aku membantah,"Tetapinampaknya hidup ini ruwet,benang-benangnya banyak yang hitam,mengapa tidak semuanya memakai warnayang cerah?Kemudian TUHAN menjawab, "kamuteruskan pekerjaanmu, dan Aku jugamenyelesaikan pekerjaan-Ku di bumi ini.Suatu saat nanti Aku akan memanggilmu kesurga dan mendudukkan kamu dipangkuan-Ku,dan kamu akan melihat rencana-Ku yangindah dari sisi-Ku!"SERING KALI KITA TIDAK MENGERTI APAYANG TUHAN INGINKAN DALAM HIDUP KITA..TAPI PERCAYALAH BAHWA SEMUA YANGTELAH DIA IJINKAN TERJADI DALAM HIDUPKITAADALAH YANG TERBAIK.

Meraih berkah dengan buah apel

Meraih berkah dengan buah apel dakwatuna.com - “Alhamdulillah, selama hidup saya tidak pernah makan sesuatu atau memberikan sesuatu yang dilarang Allah pada anak saya untuk dimakan. Anak perempuan saya baik dalam segala hal. Kalian adalah pasangan yang serasi. Semoga Allah Subhanahu wa ta`ala memberkati kalian dan menganugerahkan kalian anak yang shaleh. Saya memberikan kebun apel ini sebagai hadiah pernikahan kalian. Sekarang, pergilah menemui isterimu.” Kalimat penuntas itu ditujukan kepada seorang lelaki Tsabit bin Ibrahim, yang tidak lain adalah ayah kandung Imam Abu Hanifah –seorang imam dan cendekiawan sepanjang masa– ketika masih muda telah menjadi seorang yang sangat shaleh, jujur dan suka menolong. Ia tidak pernah iri hati pada harta benda milik orang lain. Ia juga berusaha untuk tidak melanggar hak orang lain. Siang itu udara panas sekali. Seorang anak muda berjalan sendiri, di tengah hutan gersang dengan pepohonan yang jarang. Tampak terseok-seok berjalan. Didera rasa haus dan lapar ia mencoba untuk tetap meneruskan perjalanan. Ternyata di hutan itu ia menemukan sebuah sungai kecil berair cukup jernih. “Alhamdulillah air ini cukup membantu menghilangkan dahagaku.” Dia berkata dalam hati seraya membasuh mukanya. Namun setelah air mengalir membasahi kerongkongannya, perutnya pun berteriak minta diisi. Sudah dua hari lebih ia belum makan. Sepanjang melintasi perjalanan tadi, ia belum menemukan makanan apapun. Jangankan hewan liar, pohon yang berbuah pun tak dijumpainya. Sambil duduk memandangi sungai, ia merenungi perjalanannya, atau lebih tepat pengembaraannya. Telah beberapa waktu dilalui hidupnya untuk mengembara melintasi bumi Allah, sekedar mencari pengalaman hidup dan berguru pada mereka yang ditemuinya. Tanpa sadar karena lapar dan kantuk yang mulai menyerang, dilihatnya satu dua benda yang mengapung di sungai kecil itu. Dipandanginya lebih jelas. Ya, itu adalah buah, seperti buah apel karena merah warnanya. Bangkit dari duduknya kemudian mencari sebatang dahan kayu untuk menarik buah itu ke pinggir. “Alhamdulillah, kalau rezeki tak akan kemana. Bismillahirrahmaanirrahiim….hmm, lezat sekali apel ini. Serasa masih baru dipetik dari pohonnya.” Gumamnya, setelah 3-4 gigitan yang telah ditelan, tiba-tiba anak muda itu berhenti mengunyah apel tersebut. “Astaghfirullah, buah ini belum diketahui siapa yang empunya, kok sudah aku makan tanpa seijinnya.” Sejenak kemudian mengalir air matanya. Terisak ia. “Buah ini belum halal bagiku. Duhai perutku maafkan diriku yang telah memberikan sesuatu yang belum jelas kehalalannya padamu.” Terdiam, buah apel yang sudah separuh dimakan itu kemudian ia pandangi, berpikir mencoba mengolah isi hatinya. Sebuah sikap langka untuk sekarang ini. Saat ini kejujuran begitu sulit ditemui. Kejujuran sudah menjadi barang langka, jangankan untuk mengembalikan atau menghalalkan sepotong apel, uang triliunan rupiah dibawa kabur sambil tidak ada niat untuk mengembalikannya. Atau untuk hal-hal “kecil” seperti menggunakan aset kantor untuk keperluan pribadi, sudahkah kita menghalalkannya? “Aku harus menemukan sumber dari buah apel ini. Bertemu dengan pemiliknya dan meminta kepadanya untuk mengikhlaskan satu buah apel ini untuk menjadi rezekiku.” Bergegas ia membereskan perbekalannya dan kemudian berjalan menyusuri sungai kecil itu untuk menemukan sumber buah apel yang dimakannya. Hingga sampailah ia di sebuah kebun kecil di pinggir sungai yang disusurinya itu. Tampak ada beberapa ladang dengan beberapa jenis tanaman lain di dekat situ, juga sebuah gudang kecil. Sejurus kemudian tertahan pandangannya pada sebuah rumah yang sederhana namun cukup asri yang menunjukkan penghuninya adalah orang yang rajin merawatnya. Menujulah ia kesana dengan harap-harap cemas dapat bertemu pemiliknya. Pemuda Tsabit sesekali membandingkan apel yang ada di tangannya dengan apel yang ada di sekitar kebun itu. Tsabit yakin apel yang ada di tangannya itu berasal dari kebun itu. “Assalamu’alaikum..”“Wa alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh..” Sesosok lelaki paruh baya muncul dari balik pintu.“Siapakah engkau wahai anak muda?”“Nama saya Tsabit bin Ibrahim, apakah bapak pemilik rumah ini, juga kebun dan ladang di dekat rumah ini?”“Betul, sayalah pemiliknya.”“Apakah kebun apel itu juga milik bapak?”“Iya, kebun itu milik saya, sekarang sedang berbuah.“hmm, silakan masuk dan duduk dulu.” “Begini tuan, saya adalah seorang pengembara, ketika sedang dalam perjalanan, saya menemukan sungai kecil. Disitu kemudian saya temukan beberapa buah apel yang terapung. Karena lapar yang telah begitu mendera , saya ambil dan saya makan. Saya baru sadar bahwa buah ini pasti ada yang punya sebelumnya, hingga kemudian saya mengikuti sungai tadi dan menemukan kebun dan rumah Tuan” lanjutnya sambil memperlihatkan buah apel yang tinggal separuh.” “Hmm….”, lelaki pemilik rumah itu bergumam pendek.“Maafkan saya, sudilah kiranya Tuan yang baik hati untuk mengikhlaskan buah apel ini untukku. Tanpa keikhlasan Tuan, niscaya buah apel ini akan menjadi barang haram yang saya makan, dan saya akan menyesalinya seumur hidup saya. Tak terperi rasanya dalam urat nadi saya mengalir darah yang yang disusupi ketidakhalalan. Bagaimana pertanggungjawaban saya terhadap keturunan saya, darah daging saya kelak??” Pemuda ini kembali menyaput air mata yang menggenang.. Pemilik kebun itu adalah seorang yang alim dan shaleh. Ia tahu, dalam pandangan agama tidak ada alasan untuk tidak mengizinkan seseorang makan apel yang ditemukan di pinggir sungai. Ia merenung, “Saya ingin mengetahui, apakah anak muda ini benar-benar seorang yang ‘alim, yang takut pada Allah karena telah melakukan sesuatu yang ia tidak yakin apakah itu benar atau salah. Atau ia hanya seorang pembual bermuka dua, yang hanya ingin menarik perhatian?” Untuk bisa menjawab pertanyaan itu, akhirnya pemilik kebun apel memutuskan untuk menguji anak muda tersebut. Setelah beberapa saat pemilik kebun apel berkata dengan roman muka yang masam. “Anak muda, saya tidak bisa begitu mudah memaafkan kamu, saya punya persyaratan untuk itu.” Tiba-tiba ia mendapat ide untuk menguji anak muda ini. “Baiklah, tapi saya mengajukan persyaratan. Untuk apel yang telah engkau makan, engkau harus membayarnya dengan bekerja di kebunku selama 3 tahun tanpa bayaran. Jadi engkau hanya akan mendapat makanan dan minuman sehari-hari sebagai upah bekerja itu. Dan untuk itu, engkau boleh menempati gudang di sebelah itu sebagai tempat bernaungmu.” Awalnya Tsabit muda bersiteguh untuk membayar apel itu, tetapi pemilik kebun apel tidak mengizinkannya. Tercekat pemuda itu mendengar ucapan si orang tua. Lama ia terdiam, kacau, kalut, menimbang-nimbang. Akhirnya, setelah menghela nafas sambil beristighfar berkali-kali, ia mengangguk. Tidak ada pilihan lain. Ia harus memperbaiki kesalahannya, agar dimaafkan. Tanpa berpikir panjang lagi segera ia menyetujui persyaratan yang sulit itu. Selama tiga tahun ia bekerja untuk pemilik kebun apel itu. “Tuan, mungkin sudah ditakdirkan oleh Allah, ini sudah menjadi suratan nasib saya. Kiranya Allah mengetahui apa yang terbaik bagi saya demi halalnya makanan yang masuk ke dalam tubuh saya ini.” Akhirnya bekerjalah sang anak muda itu di kebun dan ladang lelaki tua. Dengan giat dijalani hidupnya di ladang dan kebun tersebut. Seraya selalu memohon keberkahan dalam lakon hidup yang dijalaninya. Setelah 3 tahun berjalan, anak muda itu kemudian menemui pemilik kebun.“Tuan, hari ini hari terakhir saya bekerja disini. Saya telah menyelesaikan janji saya memenuhi permintaan Tuan.” Pemilik kebun apel sadar, bahwa anak muda ini, yang sedang berdiri di hadapannya, adalah orang yang luar biasa. Anak muda ini telah memikat hatinya dan karenanya ia tidak akan membiarkan anak muda ini pergi begitu saja. Pemilik kebun apel sejenak kemudian menjawab, “Tunggu dulu anak muda, masa 3 tahun sudah engkau jalani, namun saya belum dapat memaafkan. Persayaratan terakhir adalah engkau harus menikahi putriku semata wayang. Yang perlu engkau ketahui bahwa ia tidak dapat menggerakkan tangannya, tidak bisa berjalan, tidak bisa mendengar dan tidak bisa melihat. Seandainya engkau menerimanya sebagai istri, maka kuikhlaskan buah apel dari kebunku yang engkau makan waktu itu.” Jujur saja, menikahi seorang wanita cacat, adalah perkara yang sulit. Persyaratan ini sangat berat bagi Tsabit. Tapi hidup dengan mengabaikan suara hati nurani dan ketika kelak meninggal dan akan bertemu dengan Allah, tentunya lebih berat lagi. Tsabit merenung, begitu aneh perannya dalam kehidupan yang bisa terjadi, hanya karena menemukan apel yang sedang menggelinding di tepi sungai, lalu menggigitnya tanpa berpikir panjang. Sambil memandang tanah dengan wajah pucat pasi Tsabit berkata : “Duhai, ujian apa lagi ini ya Allah, setiap lelaki tentu mengharapkan istri yang sempurna, secantik bidadari, bermata jeli dengan riasan mahkota permaisuri di kepalanya. Tak terbayang betapa berat semua ini.” Pilu doanya dalam hati. Namun sebagai. “Ya, saya menyetujui persyaratan Tuan, dengan begitu sebaiknya Tuan memaafkan saya.” akhirnya lelaki yang teguh memegang janjinya itu mengangguk. Di dalam setiap ujian, ada hikmah yang semoga dapat meningkatkan ketakwaannya. Beberapa hari kemudian, Tsabit menikah dengan anak perempuan si pemilik kebun apel secara sederhana. Pada malam harinya, Tsabit pergi menuju kamar pelaminan, dimana mempelai wanita telah menunggunya. Di sana ia melihat seorang muslimah impian yang cantik jelita, yang tersenyum padanya. Tsabit merasa takjub dan terheran-heran: “Ya Allah, saya telah salah masuk kamar.” Tsabit bergegas meninggalkan kamar dan dalam sekejab ayah wanita itu datang menghampirinya. “Maaf, saya telah salah masuk kamar.” Tsabit mencoba menjelaskan dengan wajah tersipu malu. “Itu bukan kamar yang salah. Ia adalah anak perempuan saya.” jawab si pemilik kebun apel yang sekarang telah menjadi mertuanya. “Saya sudah menemuinya. Tapi ia bukanlah anak perempuan seperti yang Tuan ceritakan pada saya. Ia sama sekali tidak cacat seperti yang Tuan katakan.” Mertuanya berkata sambil tersenyum, “Anakku! Anak perempuan saya lumpuh, karena ia sampai saat ini tidak pernah memasuki tempat hiburan manapun, ia buta, karena sampai sekarang tidak pernah memandang laki-laki yang tak dikenalnya, ia juga tuli, karena ia selama ini tak pernah mendengar fitnah dan hanya mematuhi Al Qur’an dan kata-kata Rasululllah Shalallaahu Alaihi wa Sallam.” Subhanallah sungguh keshalihahan seorang muslimah sejati. Hal Ini juga sudah langka. Saat ini kita begitu sulit menemukan seorang muslimah yang “buta, bisu, tuli, dan lumpuh” dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Mungkin ada, tetapi begitu sulit menemukannya. Mungkin, bagi seorang laki-laki yang menginginkan muslimah seperti ini, setidaknya harus memiliki kejujuran yang dimiliki oleh Tsabit. Karena alasan itulah sang pemilik kebun mempertimbangkan secara mendalam dan akhirnya mengambil keputusan menyerahkan anak perempuannya kepada Tsabit, karena dia telah yakin bahwa Tsabit pantas mendapinginya. Karena takut pada sari apel yang telah masuk ke dalam perutnya, setuju untuk bekerja selama 3 tahun hanya agar kesalahannya dimaafkan. “Alhamdulillah, selama hidup saya tidak pernah makan sesuatu atau memberikan sesuatu yang dilarang Allah pada anak saya untuk dimakan. Anak perempuan saya baik dalam segala hal. Kalian adalah pasangan yang serasi. Semoga Allah Subhanahu wa Ta`ala memberkati kalian dan menganugerahkan kalian anak yang shaleh. Saya memberikan kebun apel ini sebagai hadiah pernikahan kalian. Sekarang, pergilah menemui isterimu.” Begitu mendengar kata-kata itu, Tsabit segera melupakan semua kegundahan di hatinya selama ini dan pergilah ia menuju pasangan hidupnya yang berharga dan sangat dikasihinya. Dari pernikahan ini lahirlah Imam besar Abu Hanifah, yang mengajarkan dasar-dasar Mahzab Hanafi. Tsabit telah memakan setengah buah apel, terus mencari pemiliknya meskipun harus menempuh perjalanan sehari semalam. Kemudian dia sanggup untuk menikahi anak pemilik kebun meskipun dikatakan bahwa putrinya tersebut buta, tuli, bisu, dan lumpuh. Sungguh semua itu dilakukan Tsabit demi kehalalan sebuah apel. Namun karena ‘kehalalan’ inilah dia beroleh berkah dari Allah. “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.” (QS. Al Fathir:29)

Za poems

Missing You
by The Thinker
No words I write can ever say,

How much I miss you everyday.

As time goes by the loneliness grows,

How I miss you... nobody knows.

I think of you in silence,

I often speak your name.

But all I have are memories, And a photo in a frame.

No one knows my sorrow,

No one sees me weep.

But the love I have for you,

Is in my heart and mine to keep.

I never stopped loving you,

I don't think I ever will. Deep inside my heart,

You are with me still.

Heartaches in this world are many,

But mine is worse than any.

My heart still aches

as I whisper low,

"I need you... and miss you so."

The things we feel so deeply,

Are often the hardest things to say.

But I just can't keep quite anymore,

So I'll tell you anyway.

There is a place in my heart,

That no one can fill.

I love you... and I always will.

Allah ndak ndeso (cak nun)

Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun. "Cak Nun,"kata sang penanya, "misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu: pergi ke masjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?"Cak Nun menjawab lantang, "Ya nolong orang kecelakaan.""Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?" kejar si penanya."Ah, mosok Allah ndeso gitu," jawab Cak Nun."Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak, " katanya lagi. "Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi.Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong, Tuhan tidak berada di mesjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang. Kata Tuhan:kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu. Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu. Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.Seraya bertanya balik, Emha berujar, "Kira-kira Tuhan suka yang manadari tiga orang ini. Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca al-quran,membangun masjid, tapi korupsi uang negara.Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran, menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat permusuhan. Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?"Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga. Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjak-injaknya. Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan membaca Al-Quran.Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya. Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya : kasih sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama. Idealnya, orang beragama itu seharusnya memang mesti shalat, ikut misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang.Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama. Bila kita cuma puasa, shalat, baca al-quran, pergi ke kebaktian, ikut misa, datang ke pura, menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama. Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama.Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya. Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama. Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan sosial pada kaum mustadh'afin (kaum tertindas). Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya.Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.Ekstrinsik VS IntrinsikDalam sebuah hadis diceritakan, suatu ketika Nabi Muhammad SAW mendengar berita perihal seorang yang shalat di malam hari dan puasadi siang hari, tetapi menyakiti tetangganya dengan lisannya. Nabi Muhammad SAW menjawab singkat, "Ia di neraka." Hadis ini memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup.Ibadah ritual mesti dibarengi ibadah sosial. Pelaksanaan ibadah ritual yang tulus harus melahirkan kepedulian pada lingkungan sosial. Hadis di atas juga ingin mengatakan, agama jangan dipakai sebagai tameng memperoleh kedudukan dan citra baik di hadapan orang lain. Hal ini sejalan dengan definisi keberagamaan dari Gordon W Allport. Allport, psikolog, membagi dua macam cara beragama: ekstrinsik dan intrinsik.Yang ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan. Agama dimanfaatkan demikian rupa agar dia memperoleh status darinya. Ia puasa, ikut misa, kebaktian, atau membaca kitab suci,bukan untuk meraih keberkahan Tuhan, melainkan supaya orang lainmenghargai dirinya. Dia beragama demi status dan harga diri. Ajaran agama tidak menghujam ke dalam dirinya.Yang kedua, yang intrinsik, adalah cara beragama yang memasukkan nilai-nilai agama ke dalam dirinya. Nilai dan ajaran agama terhujam jauh ke dalam jiwa penganutnya. Adanya internalisasi nilai spiritual keagamaan. Ibadah ritual bukan hanya praktik tanpa makna. Semua ibadah itu memiliki pengaruh dalam sikapnya sehari-hari. Baginya, agama adalah penghayatan batin kepada Tuhan. Cara beragama yang intrinsiklah yang mampu menciptakan lingkungan yang bersih dan penuh kasih sayang.Keberagamaan ekstrinsik, cara beragama yang tidak tulus, melahirkan egoisme. Egoisme bertanggungjawab atas kegagalan manusia mencari kebahagiaan, kata Leo Tolstoy. Kebahagiaan tidak terletak pada kesenangan diri sendiri. Kebahagiaan terletak pada kebersamaan. Sebaliknya, cara beragama yang intrinsik menciptakan kebersamaan.Karena itu, menciptakan kebahagiaan dalam diri penganutnya dan lingkungan sosialnya. Ada penghayatan terhadap pelaksanaan ritual-ritual agama.Cara beragama yang ekstrinsik menjadikan agama sebagai alat politis dan ekonomis. Sebuah sikap beragama yang memunculkan sikap hipokrit; kemunafikan. Syaikh Al Ghazali dan Sayid Quthb pernah berkata, kita ribut tentang bid'ah dalam shalat dan haji, tetapi dengan tenang melakukan bid'ah dalam urusan ekonomi dan politik. Kita puasa tetapi dengan tenang melakukan korupsi. Juga kekerasan, pencurian, dan penindasan.Indonesia, sebuah negeri yang katanya agamis, merupakan negara penuh pertikaian. Majalah Newsweek edisi 9 Juli 2001 mencatat, Indonesia dengan 17.000 pulau ini menyimpan 1.000 titik api yang sewaktu-waktu siap menyala. Bila tidak dikelola, dengan mudah beralih menjadi bentuk kekerasan yang memakan korban. Peringatan Newsweek lima tahun lalu itu, rupanya mulai memperlihatkan kebenaran. Poso, Maluku, Papua Barat, Aceh menjadi contohnya. Ironis.Jalaluddin Rakhmat, dalam Islam Alternatif , menulis betapa banyak umat Islam disibukkan dengan urusan ibadah mahdhah (ritual), tetapi mengabaikan kemiskinan, kebodohan, penyakit, kelaparan, kesengsaraan, dan kesulitan hidup yang diderita saudara-saudara mereka. Betapa banyak orang kaya Islam yang dengan khusuk meratakan dahinya di atas sajadah, sementara di sekitarnya tubuh-tubuh layu digerogoti penyakit dan kekurangan gizi.Kita kerap melihat jutaan uang dihabiskan untuk upacara-upacara keagamaan, di saat ribuan anak di sudut-sudut negeri ini tidak dapat melanjutkan sekolah. Jutaan uang dihamburkan untuk membangun rumah ibadah yang megah, di saat ribuan orang tua masih harus menanggung beban mencari sesuap nasi. Jutaan rupiah uang dipakai untuk naik haji berulang kali, di saat ribuan orang sakit menggelepar menunggu maut karena tidak dapat membayar biaya rumah sakit. Secara ekstrinsik mereka beragama, tetapi secara intrinsik tidak beragama. (quoted from milis beasiswa)